Kamis, 15 Maret 2012

Peranan UKM terhadap Pertumbuhan dan Perekonomian di Indonesia


Peranan UKM terhadap Pertumbuhan dan Perekonomian di Indonesia

Nama : Puji Rahayu
Kelas  : 3DD04
NPM  34209019

 Abstrak
Menghadapi persaingan bebas, usaha menengah dinilai jauh lebih siap dilihat dari segi kemampuan SDM, skala usaha dan kemampuannya untuk melakukan inovasi dan akses pasar. Dalam perjalanannya pembinaan terhadap UKM, lebih condong kepada pembinaan pengusaha kecil, sementara pembinaan terhadap usaha menengah seolah-olah terlupakan. Kebijakan pengembangan usaha bagi usaha menengah belum bersandar pada satu peraturan pemerintah sebagai payung kebijakan, dan dalam aras pengembangan usaha, masih terdapat grey area dalam pengembangan usaha menengah
Salah satu strategi untuk mendorong kinerja dan peran UKM dalam pasar bebas serta mengatasi kesenjangan yang terjadi, adalah dengan menumbuhkan usaha menengah yang kuat dalam membangun struktur industri. Strategi pengembangan usaha menengah ini praktis banyak dilupakan sejalan dengan kurang diperhatikannya entitas dan posisi usaha menengah dalam pertumbuhan ekonomi maupun dalam kebijakan pengembangan UKM.
Sekalipun peran usaha menengah lebih rendah dibandingkan dengan usaha kecil. Namun dengan memperhatikan posisi strategis dan keunggulan yang dimilikinya, Usaha menengah layak untuk didorong sebagai motor pengembangan UKM dalam persaingan bebas. Hal ini karena potensi teknologi dan sumberdaya manusianya jauh lebih tinggi dari pada usaha kecil.
Lebih jauh penulis mengungkapkan bahwa dengan terjadinya pergeseran tatanan ekonomi dunia pada persaingan bebas, dapat dikatakan bahwa UKM menghadapi situasi yang bersifat double squeze yaitu situasi yang  datang dari sisi internal berupa ketertinggalan produktivitas,
efisiensi dan inovasi; dan situasi yang datang dari eksternal pressure. Dengan adanya dua fenomena di atas yang perlu diperhatikan adalah masalah ketimpangan struktur usaha dan kesenjangan usaha besar dengan usaha kecil dan menengah.
Dalam era perdagangan bebas, dimana siklus produk relatif pendek dan sangat ditentukan oleh selera konsumen, mengharuskan setiap pelaku bisnis memiliki akses yang cukup terhadap pasar dan kemampuan inovasi produk, guna meningkatkan daya saingnya. Justru hal inilah yang merupakan titik lemah yang dimiliki oleh UKM pada umumnya. Disisi lain UKM memegang peran penting dalarn perekonomian Indonesia baik ditinjau dari segi jumlah usaha maupun dalam penciptaan lapangan kerja. Dalam hal ekspor, UKM memiliki potensi untuk meningkatkan penerimaan ekspor. Hanya saja potensi ini belum dimanfaatkan dengan optimal. Hanya UKM yang bergerak di sektor industri tertentu saja yang sudah melakukan ekspor.
Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia UKM selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan yang penting, karena sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik disektor tradisional maupun modern. Peranan usaha kecil tersebut menjadi bagian yang diutamakan dalam setiap perencanaan tahapan pembangunan yang dikelola oleh dua departemen. 1. Departemen Perindustrian dan Perdagangan; 2. Departemen Koperasi dan UKM, namun demikian usaha pengembangan yang telah dilaksanakan masih belum memuaskan hasilnya, karena pada kenyataannya kemajuan UKM sangat kecil dibandingkan dengan kemajuan yang sudah dicapai usaha besar. Pelaksanaan kebijaksanaan UKM oleh pemerintah selama Orde Baru, sedikit saja yang dilaksanakan, lebih banyak hanya merupakan semboyan saja, sehingga hasilnya sangat tidak memuaskan. Pemerintah lebih berpihak pada pengusaha besar hampir disemua sektor, antara lain : perdagangan, perbankan, kehutanan, pertanian dan industri.

Kata kunci : Peran UKM terhadap pertumbuhan dan perekonomian di Indonesia







BAB I
PENDAHULUAN

Peranan UKM dalam Perekonomian


Sejarah perekonomian telah ditinjau kembali untuk mengkaji ulang peranan usaha skala kecil – menengah (UKM). Beberapa kesimpulan, setidak-tidaknya hipotesis telah ditarik mengenai hal ini. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat sebagaimana terjadi di Jepang, telah dikaitkan dengan besaran sektor usaha kecil. Kedua, dalam penciptaan lapangan kerja di Amerika Serikat sejak perang dunia II, sumbangan UKM ternyata tak bisa diabaikan (D.L. Birch, 1979).
Negara-negara berkembang yang mulai mengubah orientasinya ketika melihat pengalaman di negara-negara industri maju tentang peranan dan sumbangan UKM dalam pertumbuhan ekonomi. Ada perbedaan titik tolak antara perhatian terhadap UKM di negara-negara sedang berkembang (NSB) dengan di negara-negara industri maju. Di NSB, UKM berada dalam posisi terdesak dan tersaingi oleh usaha skala besar. UKM sendiri memiliki berbagai ciri kelemahan, namun begitu karena UKM menyangkut kepentingan rakyat/masyarakat banyak, maka pemerintah terdorong untuk mengembangkan dan melindungi UKM. Sedangkan di negara-negara maju UKM mendapatkan perhatian karena memiliki faktor-faktor positif yang selanjutnya oleh para cendekiawan (sarjana –sarjana) diperkenalkan dan diterapkan ke NSB.

Beberapa keunggulan UKM terhadap usaha besar antara lain adalah :

􀂾 Inovasi dalam teknologi yang telah dengan mudah terjadi dalam pengembangan produk.

􀂾 Hubungan kemanusiaan yang akrab didalam perusahaan kecil.

􀂾 Kemampuan menciptakan kesempatan kerja cukup banyak atau penyerapannya terhadap tenaga kerja.

􀂾 Fleksibilitas dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap kondisi pasar yang berubah dengan cepat dibanding dengan perusahaan skala besar yang pada umumnya birokratis.

􀂾 Terdapatnya dinamisme managerial dan peranan kewirausahaan.

Dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat, karena semakin terbukanya pasar didalam negeri, merupakan ancaman bagi UKM dengan semakin banyaknya barang dan jasa yang masuk dari luar dampak globalisasi. Oleh karena itu pembinaan dan pengembangan UKM saat ini dirasakan semakin mendesak dan sangat strategis untuk mengangkat perekonomian rakyat, maka kemandirian UKM dapat tercapai dimasa mendatang. Dengan berkembangnya perekonomian rakyat diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, membuka kesempatan kerja, dan memakmurkan masyarakat secara keseluruhan.
Kegiatan UKM meliputi berbagai kegiatan ekonomi, namun sebagian besar berbentuk usaha kecil yang bergerak disektor pertanian. Pada tahun 1996 data Biro Pusat Statistik menunjukkan jumlah UKM = 38,9 juta, dimana sektor pertanian berjumlah 22,5 juta (57,9%), sektor industri pengolahan = 2,7 juga (6,9 %), sektor perdagangan, rumah makan dan hotel = 9,5 juta (24%) dan sisanya bergerak dibidang lain. Dari segi nilai ekspor nasional (BPS, 1998). Nilai ini jauh tertinggal bila dibandingkan ekspor usaha kecil negara-negara lain, seperti Taiwan (65 %), Cina 50 %), Vietnam (20 %), Hongkong (17 %), dan Singapura (17 %). Oleh karena itu, perlu dibuat kebijakan yang tepat untuk mendukung UKM seperti antara lain: perijinan, teknologi, struktur, manajemen, pelatihan dan pembiayaan.
Data statistik menunjukkan jumlah unit usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) mendekati 99,98 % terhadap total unit usaha di Indonesia. Sementara jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai 91,8 juta orang atau 97,3% terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia. Menurut Syarif Hasan, Menteri Koperasi dan UKM seperti dilansir sebuah media massa, bila dua tahun lalu jumlah UMKM berkisar 52,8 juta unit usaha, maka pada 2011 sudah bertambah menjadi 55,2 juta unit.  Setiap UMKM rata-rata menyerap 3-5 tenaga kerja. Maka dengan adanya penambahan sekitar 3 juta unit maka tenaga kerja yang terserap bertambah 15 juta orang. Pengangguran diharapkan menurun dari 6,8% menjadi 5 % dengan pertumbuhan UKM tersebut. Hal ini mencerminkan peran serta UKM terhadap laju pertumbuhan ekonomi memiliki signifikansi cukup tinggi bagi pemerataan ekonomi Indonesia karena memang berperan banyak pada sektor ril.
Negara besar dan kaya sumberdaya alam seperti Indonesia dengan jumlah penduduk mendekati seperempat milyar membutuhkan kegiatan ekonomi yang berpijak pada sektor ril. Investasi swasta (termasuk asing) perlu diarahkan pada penanaman modal di sektor ril bukan non riil. Aliran dana investasi yang berupa ‘hot money' hanya akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang semu dan rentan terhadap gejolak politik. Jika ini terjadi maka dapat mengganggu perekonomian bangsa secara keseluruhan.













    BAB II
                     PEMBAHASAN

Krisis ekonomi memberi pelajaran berharga tentang kekuatan bangunan struktur usaha Indonesia.  Usaha besar yang melalui strategi industri substitusi impor pada periode 1970-1985 dan dilanjutkan strategi industri promosi ekspor mulai 1985 diharapkan memberikan efek menete ternyata hanya melahirkan bangunan stuktur industri yang rapuh dan timpang. Usaha besar yang jumlahnya sedikit namun menguasai lebih dari 70% total asset usaha di Indonesia. Sementara usaha kecil dengan jumlah yang sangat besar tidak mengalami imbas dari penguasaan asset dan perkembangan yang dialami usaha besar. Namun ketika krisis menghantam perekonomian Indoneisa, terbukti usaha besar yang lebih rapuh daya tahannya terhadap krisis.
Dalam proses membangun kembali kebijakan pemulihan ekonomi, diperlukan pendlaman bagaimana peran dari masing-masing skala usaha. Pada masa lalu, pemerintah lebih menitik beratkan pada usaha mengembangkan usaha besar dengan konglomerasi yang dilakukan dan diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Disisi, pengembangan UKM berada pada dua pola berpikir yang berkembang. Pertama, UKM ditempatkan sebagai unit usaha yang perlu mendapat dukungan melalui proteksi khsusunya terhadap persaingan dan dukungan melaui pola “bapak angkat”. Pola ini menghasilkan kebijakan yang bersifat “government and protection policy”. UKM menjadi tidak cukup mampu untuk bersaing (bahkan untuk skala menengah sekalipun), lemah dala melakukan inovasi dan kurang mampu melakukan penetrasi pasar yang lebih luas. Pemikiran kedua, menempatkan posisi dan pengembangan UKM sebagaimana unit usaha bisnis yang harus tumbuh dalam lingkungan persaiangan. UKM tidak perlu diberikan proteksi dan bantuan yang berlebihan dan bahkan dirasakan akan sangat berkembang dalam iklim persaingan ekonomi pasar yang sehat dengan intervensi yang seminimal mungkin. Pola pemikiran kedua ini tdak mengarahkan pada pola do nothing policy tapi lebih cenderung kepada pemikiran market driven policy.
Banyak kalangan memang akan meragukan kemampuan UKM untuk berada dalam kondisi pasar yang bersaing dengan dukungan dan proteksi yang minimum. Disamping itu, pilihan pada kebijakan yang cenderung pada government and protection policy secara politis akan lebih populis serta terlihat lebih cepat hasilnya (dirasakan langsung oleh UKM). Disisi lain, keberadaan usaha menengah sebagai salah satu pilar UKM yang harusnya sudah lebih mandiri dan menjadi pendorong skala usaha di bawahnya menjadi dilupakan. Seperti biasa, UKM kemudian menjadi lebih identik dengan pengembangan usaha kecil dan mikro yang memang harus mendapat berbagai jenis bantuan dan proteksi. Akibatnya usaha menengah juga menjadi sosok yang terbiasa dengan proteksi, captive market dan menginginkan berbagai fasilitas yang disertai dengan manajemen yang tradisional membuatnya sulit berkembang. Fenomena struktur usaha yang timpang dimana usaha menengah secara kuantitas tidak bisa menjadi penyangga struktur industri menunjukkan tidak berkembangnya usaha menengah.

Fakta tentang UKM dan Posisi Usaha Menengah
Kemampuan UKM untuk bertahan dalam kondisi krisis terjadi karena dua faktor utama. Pertama, kandungan lokal yang tinggi pada input produksinya.  Local content yang tinggi tidak semata-mata menghindarkan keterpurukan akibat depresiasi rupiah yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi pada usaha yang banyak menggunakan input impor. Keunggulan faktor pertama ini juga dapat diteruskan untuk menghasilkan untuk menghasilkan komoditas dengan keunikan dan kekhasan tertentu yang menjadi nilai lebih produk untuk membuatnya memiliki daya saing lebih dipasar. Secara filosofi, suatu produk akan memiliki nilai lebih dan daya saing dipasar ketia produk yang dihasilkan dapat menjadi yang terbaik (to be number one) di kelasnya atau menjadi satu-satunya (to be the only one). Disisi lain, kebanyakan produksi UKM masih mengandalkan pasar lokal dan permintaan dalam negeri sebagai sumber omsetnya kecuali pada produk tertentu[1][3]. Belum banyak produk UKM bahkan yang berasal dari usaha menengah yang mampu melakukan ekspor langsung. Kemampuan melakukan inovasi yang lemah dan merasa cukup puas dengan apa yang sudah didapat menjadi faktor yang membuat kemampuan untuk bersaing daya produk yang dihasilkan tidak cukup kuat.
Kemampuan fleksibilitas UKM dalam merespon fluktuasi permintaan pasar yang bersumber dari keunggulan skala ekonomi untuk melakukan penyesuaian pemanfaatan kapasitas produksi dengan cepat. Perubahan permintaan yang terjadi dengan cepat dipasar pada saat krisis mampu direspon oleh UKM tanpa terjadinya inefisiensi yanhg begitu besar. Studi CESS dan The Asia Foundation (2002) terhadap industri skala menengah dan besar menunjukkan bahwa semakin kecil skala usaha, semakin kecil dampak penurunan output yan terjadi akibat krisis. Fleksibilitas dalam melakukan penyesuaian kapasitas produksi menjadi faktor yang mendukung kecilnya dampak penurunan output pada usaha skala kecil dan menengah.
Harus diakui sampai saat ini UKM telah secara efektif menjadi safety valve ekonomi dalam penyediaan tenaga kerja, memproduksi output dan sumber kehidupan dan ketenangan bagi jutaan rakyat Indonesia. Salah satu indikasi mengapa UKM bertahan adalah karena salah satu atau kombinasi alasan berikut: (a) tidak terkaitnya kegiatan ekonomi UKM dengan pinjaman dollar, (b) seperti dilaporkan oleh (CESS, 1999) UKM mampu mengadakan langkah penghematan dengan subsitusi input mahal terhadap input yang lebih murah, dan (c) serta mampu melakukan keanekaragaman usaha (differensiasi usaha) dan membuka pasar baru (diversifikasi pasar) dan (d) UKM pada dasarnya majoritas bergerak berdasarkan modal sendiri dan bukan pinjaman (CESS, 1999).
Namun temuan lain hasil studi ini juga menunjukkan bahwa sumber kurangnya kemampuan daya saing pasar yang paling dirasakan khususnya oleh usaha skala menengah justru akibat lingkungan usaha yang tidak kondusif dengan banyaknya pungutan pungutan yang menggeragoti margin. UKM yang notabene riil melakukan kegiatan produktif sangat mengandalkan margin yang didapat sebagai modal untuk melakukan akumulasi kapital maupun efisiensi untuk meningkatkan daya saing. Penurunan margin akibat berbagai bentuk pungutan akan berimplikasi pada penurunan kemampuan melakukan akumulasi kapital sehingga berdampak pada kemampuannya melakukan akumulasi kapital, menurunkan efisiensi dan memaksanya meningkatkan harga jual sehingga menjadi sulit bersaing dalam iklim pasar yang kompetitif. Dipihak lain, hambatan tersebut semakin melemahkan motivasi UKM untuk berkembang lebih maju melalui inovasi, perluasan pasar maupun peningkatan skala usaha.
Studi CESS dan Swisscontact (2003) terhadap UKM ekspor di Bali juga menunjukkan bahwa pada kondisi pasar yang semakin kompetitif, lingkungan bisnis yang tidak kondusif dan menambah beban biaya  menjadi masalah yang sangat mengganggu  kenyamanan berusaha eksportir/trading house. Akibatnya daya saing dari produk eksportir/trading house dari Bali yang notabene berasal dari UKM, menurun tajam karena sulit bersaing dengan produk dari negara yang ongksos produksinya lebih murah. Bali yang merupakan salah satu andalan ekspor UKM (termasuk untuk produk dari daerah lain) dihadapi oleh semakin memburuknya iklim usaha akibat semakin banyaknya pungutan dan perijinan yang dihadapi. Akibatnya trading house yang menjadi saluran ekspor bagi produk UKM untuk meraih pasar mancanegara semakin merasa berat untuyk mempertahankan usahanya.

UKM Sudah Terbukti
Bisnis UMKM tersebar di segala penjuru Tanah Air di pelosok nusantara dengan cukup merata. Memang jiwa ‘entrepreneurship' warga bangsa ini melekat sejak lama bahkan jauh sebelum Negara merdeka. UKM telah terbukti sepanjang sejarah bangsa muncul sebagai motor penggerak dan penyelamat perekonomian Indonesia. UKM mampu menopang sendi-sendi perekonomian bangsa dimasa sulit dan krisis ekonomi menerjang negeri ini terutama tahun 1997/1998. Kala itu perusahaan besar ternyata tidak berdaya dan oleng. Sejumlah konglomerat memperoleh fasilitas pinjaman dari pemerintah yang dikenal dengan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).  Tapi perusahaan tak kunjung terselamatkan malah terjadi penggelapan BLBI. Triliunan rupiah dikucurkan pemerintah (BI) raib tak jelas rimbanya. Ironis, pemerintah terpaksa gigit jari, tidak ada itikad baik taipan yang mengemplang BLBI. "Air susu dibalas dengan air tuba".
Kini mari kita lihat secara faktual keberadaan UKM ditengah-tengah merebaknya jejaring kapitalisme pada perekenomian bangsa ini. Senyatanya UKM amat berperan tidak hanya ikut meredam gejolak sosial akibat angka pengangguran yang kian besar, tetapi secara makro turut menumbuh-ratakan ekonomi Negara. Dalam konteks ini kiranya penting disimak data BPS mengenai sumbangan UKM pada peningkatan produk domestik bruto (PDB). Tahun lalu UKM menyumbang 56% dari total PDB di Indonesia. Kepedulian pemerintah atas tumbuh-kembang UKM adalah tepat dan relevan terutama pada fokus pengembangan sektor riil. UKM lebih "bermain" di sektor riil yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga bermanfaat tidak hanya bagi pertumbuhan ekonomi tetapi juga pemerataan kesejahteraan rakyat.
Demikian banyaknya UKM yang telah lama menjalankan usahanya dan memiliki prospek luar biasa, tapi karena kurang dana dan pemahaman manajemen masih terbatas, maka UKM jarang menjadi besar. Sebagai contoh berdasarkan pengalaman penulis di Malang ada penjual es degan (kelapa muda) yang menjajakan dagangannya dengan rombong sederhana tapi memiliki omset mencapai 1 juta rupiah per hari. Semangat, tekad dan kemauan pebisnis sejati ini untuk mengembangkan usahanya cukup besar. Tetapi sayang mereka kurang modal dan kurang tercerahkan wawasan manajemen bisnisnya. Peran ini sebenarnya bisa difasilitasi pihak perbankan kita. Dalam konteks ini maka peran perbankan diperlukan.
Perbankan Diwajibkan Membantu UKM
Upaya menumbuh-ratakan perekonomian Indonesia sebaiknya diarahkan pada penguatan manajemen UKM.  Sudah rahasia umum bahwa perbankan lebih suka berbisnis dengan pengusaha besar dengan omset miliaran bahkan triliunan rupiah. Secara logika memang berbisnis dengan usaha besar bisa membawa untung.gede. Namun yang dilihat lebih pada keuntungan semata, padahal resiko kerugian tidak kalah besar dan usahanya belum teruji tahan banting seperti UKM karena mungkin usahanya "ujug-ujug" (tahu-tahu) sudah besar "dikatrol sana sini". Saat krisis moneter banyak usaha besar gulung tikar, sehingga juga mempengaruhi sektor perbankan. Merangkul UKM bagi perbankan justtru lebih aman dam menguntungkan dalam jangka pendek, menengah maupun panjang.
Senyatanya prospek bisnis UKM terbuka luas dan menjanjikan. Berdasar pengamatan penulis banyak usaha kecil /UKM yang demikian laris, namun manajemen bisnis mereka masih sederhana. Hal ini dimaklumi oleh karena kebanyakan mereka menjalankan usaha dengan "learning by doing", tidak memperoleh pendidikan khusus. Menjalankan usaha acapkali awalnya karena situasi dan kondisi yang mengharuskan mereka untuk berbisnis dengan segala keterbatasan yang ada. Bila saja pihak perbankan bisa menyalurkan kredit sekaligus membantu mempertajam manajemen bisnis mereka, maka UKM akan tumbuh-kembang secara profesional. Sementara pihak perbankan pun akan menuai banyak manfaat dari kemajuan UKM tersebut. Ada semacam simbiosis mutualistis yang saling melengkapi.
Pada masa sebelum krisis 1998 perbankan tampak asyik masyuk dengan pengusaha besar padahal para konnglomerat  itu pula yang telah menjatuhkan kinerja perbankan kita.  Tanpa seleksi ketat para taipan "advonturir" itu biasanya terlalu berani ambil resiko yang unsur spekulasinya juga tinggi. Akibatnya pun kita tahu sendiri bisa fatal! Sedangkan pihak UKM biasanya patuh pada koridor siklus (proses) bisnis normal yang tidak mengada-ngada alias tidak aneh-aneh, karena umumnya target dan bidikan pasar jelas, usaha barang atau jasa yang diperdagangkan pun sudah berlangsung cukup lama.
Krisis yang terjadi di Indonesia pada 1997 merupakan momen yang sangat menakutkan bagi perekonomian Indonesia. Krisis ini telah mengakibatkan kedudukan posisi pelaku sektor ekonomi berubah. Usaha besar satu persatu pailit karena bahan baku impor meningkat secara drastis, biaya cicilan utang meningkat sebagai akibat dari nilai tukar rupiah terhadap dolar yang menurun dan berfluktuasi. Sektor perbankan yang ikut terpuruk turut memperparah sektor industri dari sisi permodalan. Banyak perusahaan yang tidak mampu lagi meneruskan usaha karena tingkat bunga yang tinggi. Berbeda dengan UKM yang sebagian besar tetap bertahan, bahkan cendrung bertambah.
Ada beberapa alasan mengapa UKM dapat bertahan di tengah krisis moneter 1997 lalu. Pertama, sebagian besar UKM memproduksi barang konsumsi dan jasa-jasa dengan elastitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah, maka tingkat pendapatan rata-rata masyarakat tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan. Sebaliknya kenaikan tingkat pendapatan juga tidak berpengaruh pada permintaan. Kedua, sebagian besar UKM tidak mendapat modal dari bank. Implikasinya keterpurukan sektor perbankan dan naiknya suku bunga, tidak banyak mempengaruhi sektor ini. Berbeda dengan sektor perbankan bermasalah, maka UKM ikut terganggu kegiatan usahanya. Sedangkan usaha berkala besar dapat bertahan. Di Indonesia, UKM mempergunakan modal sendiri dari tabungan dan aksesnya terhadap perbankan sangat rendah.
Terbukti saat krisis global yang terjadi beberapa waktu lalu, UKM hadir sebagai suatu solusi dari sistem perekonomian yang sehat. UKM merupakan salah satu sektor industri yang sedikit bahkan tidak sama sekali terkena dampak krisis global yang melanda dunia. Dengan bukti ini, jelas bahwa UKM dapat diperhitungkan dalam meningkatkan kekompetitifan pasar dan stabilisasi sistem ekonomi yang ada.
Kegiatan UKM meliputi berbagai kegiatan ekonomi, namun sebagian besar berbentuk usaha kecil yang bergerak disektor pertanian. Pada 1996, data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah UKM sebanyak 38,9 juta dengan rincian: sektor pertanian berjumlah 22,5 juta (57,9%); sektor industri pengolahan 2,7 juta (6,9%); sektor perdagangan, rumah makan dan hotel sebanyak 9,5 juta (24%); dan sisanya bergerak di bidang lain.
Jumlah UKM yang ada meningkat dengan pesat, dari sekitar 7 ribu pada tahun 1980 menjadi sekitar 40 juta pada tahun 2001. Sementara itu total volume usaha, usaha kecil dengan modal di bawah Rp. 1 miliar yang merupakan 99,85% dari total unit usaha, mampu menyerap 88,59% dari total tenaga kerja pada tahun yang sama. Demikian juga usaha skala menengah (0,14% dari total usaha) dengan nilai modal antara Rp. 1 miliar sampai Rp. 50 miliar hanya mampu menyerap 10,83% tenaga kerja. Sedangkan usaha skala besar (0,01%) dengan modal di atas Rp. 54 miliar hanya mampu menyerap 0,56% tenaga kerja. Melihat sumbangannya pada perekonomian yang semakin penting, UKMseharusnya mendapat perhatian yang semakin besar dari para pengambil kebijakan. Khususnya lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab atas perkembangan UKM.
Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia UKM selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan penting, karena sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern. Peranan usaha kecil tersebut menjadi bagian yang diutamakan dalam setiap perencanaan tahapan pembangunan yang dikelola oleh dua departemen yaitu Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta . Departemen Koperasi dan UKM. Namun, usaha pengembangan yang telah dilaksanakan masih belum memuaskan hasilnya karena pada kenyataannya kemajuan UKM sangat kecil dibandingkan dengan kemajuan yang sudah dicapai usaha besar. Pelaksanaan kebijaksanaan UKM oleh pemerintah selama Orde Baru, sedikit saja yang dilaksanakan, lebih banyak hanya merupakan semboyan saja sehingga hasilnya sangat tidak memuaskan. Pemerintah lebih berpihak pada pengusaha besar hampir di semua sektor, antara lain perdagangan, perbankan, kehutanan, pertanian dan industri.
Dengan adanya kebijakan dan dukungan yang lebih besar seperti perijinan, teknologi, struktur, manajemen, pelatihan dan pembiayaan, UKM diharapkan dapat berkembang pesat. Perkembangan UKM diharapkan dapat bersaing sehat dengan pasar besar di tengah bebasnya pasar yang terjadi saat ini.  Selain itu, UKM dapat diharapkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, membuka kesempatan kerja, dan memakmurkan masyarakat secara keseluruhan sehingga terciptanya kekompetitifan dan stabilitas perekonomian Indonesia yang baik.

Dalam kerjasama bisnis kapitalistik selama ini jika satu usaha besar goyah maka ini luar biasa dampaknya yang dapat menggoyahkan perbankan. Oleh karenanya tata pandang perbankan terhadap UKM harus diubah secara signifikan. Sejatinya UKM sesuai amanah Pasal 33 UUD 45 yang berpijak pada ekonomi kerakyatan. Pemerintah sebagai pemilik amanah konsitusi mesti menyusun cetak biru dan kebijakan yang mewajibkan perbankan sesuai kapasitasnya masing-masing untuk membantu UKM dari berbagai sisi dan aspek bisnis. Mungkin perlu juga melibatkan asosiasi bisnis profesional (KADIN), para pengusaha sukses yang komitmen kebangsaannya demikian tinggi secara lebih terencana dan terarah dan termaktub dalam cetak biru kebijakan bisnis UKM. Orientasi bisnis yang menerapkan manajemen profesional perlu dikenali-disosialisasikan kepada UKM oleh pihak yang memiliki keahlian itu untuk agar menjadi bagian dari etos dan budaya kerja ‘best practices' mereka sehari-hari
Apabila usaha kecil mudah dapat kredit perbankan dan manajemen bisnis dikembangkan mengikuti prinsip-prinsip manajemen modern yang berlaku, maka sektor ril kita akan lebih menggeliat dan dinamis. UKM tumbuh-kembang dengan sehat dan berkualitas berkat bimbingan tim manajemen perbankan. Suatu saat nanti UKM memasuki pasar global merupakan suatu keniscayaan.

Dengan demikian, ekonomi kerakyatan benar-benar menjadi soko guru pembangunan ekonomi makro dan bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang berkeadilan sesuai amanah konstitusi negara.
UKM Dalam Iklim Persaingan
Salah bentuk proteksi yang dilakukan pemerintah terhadap pengembangan UKM adalah apa yang tercantum pada dua Undang-Undang (UU) yang terkait dengan UKM yaitu UU Usaha Kecil No. 9 Tahun 1995 dan UU Persaingan Usaha Tahun 1999. Lebih menarik lagi karena UU Persaingan Usaha muncul setelah Indonesia dihantam badai krisis yang menjadi arena pengujian ketangguhan masing-masing skala usaha.
Di dalam UU Usaha Kecil tersebut secara jelas dinyatakan betapa diperlukannya tindakan untuk melindungi UKM dari persaingan yang tidak adil serta perlunya usaha untuk mengembangkannya. Misalnya, pemerintah  mengeluarkan peraturan pemerintah, perlindungan terhadap pelaksanaan program kemitraan dimana usaha besar dipaksa bermitra dengan UKM. Sementara dalam pasal 50 butir (h) dan (i) UU Anti Monopoli dan UU Persaingan ini ternyata koperasi dan UKM tidak tercakup di dalamnya. Kedua UU ini menyatakan bahwa salah satu tugas pemerintah dalam pengembangan sektor ekonomi adalah untuk memberikan perlindungan perundangan dan usaha pengembangan bagi koperasi dan UKM.
Berdasarkan isi dari kedua UU ini, jelas terlihat bahwa pemerintah Indonesia mungkin berpandangan bahwa untuk mengembangkan serta melindungi koperasi dan UKM (sebagai bagian dari sektor ekonomi) dari persaingan bebas (yang tidak adil) diperlukan suatu peraturan yang ketat agar dapat digunakan sebagai bagian dari insentif untuk mengembangkan dan melindungi koperasi dan UKM. Tampaknya pemerintah juga berpendapat bahwa dalam proses itu, melindungi dan mengembangkan koperasi dan UKM  merupakan unsur yang penting untuk menghadapi persaingan bebas (khususnya yang tidak adil).  Ketika harus memilih antara manfaat persaingan yang didorong oleh pasar atau perlindungan pemerintah, ternyata pemerintah memilih perlindungan.  Mungkin kita akan memberikan interpretasi: bahwa perlindungan untuk UKM serta koperasi akan efektif hanya dengan cara memakai perangkat peraturan pemerintah. Dasar pemikiran ekonomi dari UU nasional ini adalah bahwa UU dapat memainkan peranan yang penting dalam mendukung usaha besar, menengah, kecil dan koperasi dalam bersaing di pasar yang sama tetapi kita harus melindungi UKM dan koperasi.  
Secara umum tujuan UU ini adalah bagaimana mengembangkan ekonomi dengan sifat pasar persaingan bebas dimana UU seharusnya atau sebenarnya tidak ditujukan untuk melawan usaha-usaha besar, tetapi lebih merupakan pengembangan prinsip persaingan dalam ekonomi pasar yang sedemikian rupa agar dapat menciptakan kondisi pasar yang dapat mempercepat pertumbuhan usaha kecil, menengah dan besar secara bersamaan. Hubungan yang terutama dan logis antara UU ini dan pertumbuhan UKM adalah sebagai berikut: tujuan utama UU ini adalah meningkatkan keadaan ekonomi melalui persaingan pasar bebas.  Oleh sebab itu, teori pelaku ekonomi mengenai perbuatan yang bersifat anti persaingan  harus dimengerti secara jelas.   Apabila pasar yang bersaing (bukan yang bersifat monopoli atau monopolistik dll.) dikembangkan, maka akan tercipta ekonomi yang kondusif yang dapat mempercepat pertumbuhan UKM.  Namun demikian perlu dicamkan bahwa pasar yang bersaing tidak dapat dihasilkan hanya dengan UU Anti Monopoli dan UU Persaingan saja (Tambunan 1999)
Wacana regulasi tidak boleh memandang salah satu bentuk/skala usaha sebagai musuh bagi bentuk/skala usaha lainnya. Sabenarnya musuh yang sesungguhnya adalah distorsi pasar dalam bentuk kesewenangan pelaku ekonomi misalnya dalam meningkatkan harga yang mungkin dilakukan oleh perusahaan manapun yang tidak memperhatikan kepentingan konsumen dan produsen.  Perusahaan-perusahaan besar sebenarnya tetap harus dipandang tidak akan menjadi penghalang selama mereka memproduksi produk-produk unggul. Tidak masuknya UKM dan koperasi dalam kedua UU ini dapat menjadi peluang bagi adanya penyimpangan. Dalam banyak hal, melindungi UKM dan koperasi dari persaingan justru tidak dapat memabantu pertumbuhan UKM dan koperasi.
Kehadiran UKM yang kuat dalam perekonomian  akan menghasilkan dan memungkinkan adanya kondisi pasar yang sesuai untuk mengembangkan dan memelihara persaingan pasar. Ini adalah bagian dari kondisi yang diperlukan untuk membangun persaingan pasar bebas yang adil. Dengan demikian apabila kita tidak mengikutsertakan UKM dan koperasi dalam persaingan bebas,  maka kekuatan insentif pasar dari kondisi perekonomian yang sifatnya institusional itu tidak akan terlepas dari pencarian alternatif input dan output terutama pada saat pasar memberi signal perubahan biaya, harga dan hasil berubah-ubah dalam keadaan krisis ekonomi seperti sekarang ini.
UKM dan Tantangan Persaingan Global.
Ditengah tuntutan kemampuan bersaing didalam negeri yang masih dilindungi oleh proteksi pemerintah, UKM juga harus menghadapi persaingan global yang berasal dari berbagai bentuk usaha mendorong integrasi pasar antar negara dengan seminimal mungkin hambatan. Berbagai bentuk kerjasama ekonomi regional maupun multilateral sperti AFTA, APEC dan GATT berlangsung dengan cepat dan mendorong perekonomian yang semakin  terbuka. Pada kondisi lain, strategi pengembangan UKM masih menghadapai kondisi nilai tambah yang kecil termasuk kontribusinya terhadap ekspor.
Dengan pergeseran yang terjadi pada tatanan ekonomi dunia yang mengarah pada persaingan bebas, dapat dikatakan bahwa UKM sesungguhnya mengahadapi situasi yang bersifat double squeze, yaitu 1. situasi yang datang dari sisi internal (dalam negeri) berupa ketertinggalan dalam produktivitas, efisiensi dan inovasi dan 2. situasi yang datang dari ekstermal pressure. Salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian dari kombinsi situasi yang dihadapi ini adalah masalah ketimpangan struktur usaha seperti yang diungkapkan diawal dan juga kesenjangan antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah. Sedikitnya terdapat tiga keadaan yang membentuk terjadinya kesenjangan antar skala usaha di Indonesia. Pertama, akses usaha/industri besar terhadap teknologi dan menajemen modern jauh lebih besar daripada UKM. UKM masih bertahan pada teknologi dan manajemen yang sederhana bahkan cenderung tradisionil. Bahkan industri menengah yang dalam data BPS digabungkan dengan industri besar masih menunjukkan ciri dan karakter usaha kecil dalam hal akses teknologi dan manajemen usaha. Kedua, akses usaha skala besar terhdap pasar (termasuk informasi pasar) juga lebih terbuka, sementara UKM masih berkutat pada bagaimana mempertahankan pasar dalam negeri ditengah persaingan yang ketat dengan usaha sejenis. Ketiga, kurangnya keberpihakan kebijakan dan keputusan strategis pemerintah pada UKM pada masa lalu yang lebih menjadikan UKM sebagai entitas sosial dan semakin memperburuk dua kondisi diatas.

BAB III
          PENUTUP

Dengan banyaknya persaingan dan banyaknya hambatan dalam menjalankan Usaha Kecil Menengah (UKM) tidak mudah untuk memperluasnya. UKM sesungguhnya mengahadapi situasi yang bersifat double squeze, yaitu 1. situasi yang datang dari sisi internal (dalam negeri) berupa ketertinggalan dalam produktivitas, efisiensi dan inovasi dan 2. situasi yang datang dari ekstermal pressure. Salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian dari kombinsi situasi yang dihadapi ini adalah masalah ketimpangan struktur usaha seperti yang diungkapkan diawal dan juga kesenjangan antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah.
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.       Pemerintah Indonesia mungkin berpandangan bahwa untuk mengembangkan serta melindungi koperasi dan UKM (sebagai bagian dari sektor ekonomi) dari persaingan bebas (yang tidak adil) diperlukan suatu peraturan yang ketat agar dapat digunakan sebagai bagian dari insentif untuk mengembangkan dan melindungi koperasi dan UKM.
2.       Pembinaan dan pengembangan UKM saat ini dirasakan semakin mendesak dan sangat strategis untuk mengangkat perekonomian rakyat, maka kemandirian UKM dapat tercapai dimasa mendatang. Dengan berkembangnya perekonomian rakyat diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, membuka kesempatan kerja, dan memakmurkan masyarakat secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA